Beranda | Artikel
Tunaikan Amalan Wajib, Berhak Atas Surga
Jumat, 13 Juni 2014

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْت الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟ قَالَ : نَعَمْ .

Dari Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah dengan berkata, “Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?” Beliau menjawab, Ya.” (HR. Muslim).

Syarh/penjelasan:

Disebutkan dalam sebagian syarah Al Arba’in, bahwa penanya dalam hadits tersebut bernama Nu’man bin Qauqal.
Maksud “mengharamkan yang haram” adalah menjauhinya dengan meyakini keharamannya. Syaikh Abu ‘Amr Ibnu Shalah berkata, “Zhahirnya maksud kata-katanya, “mengharamkan yang haram” ada dua perkara: Pertama, meyakini sebagai sesuatu yang haram. Kedua, ia tidak melakukannya. Berbeda dengan menghalalkan yang halal, maka cukup dengan meyakini kehalalannya.

Maksud “menghalalkan yang halal” adalah mengerjakannya dengan meyakini kehalalannya.

Sedangkan maksud perkataannya, “lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun”, yakni tidak menambah dengan amalan sunat. Hadits ini menunjukkan bolehnya meninggalkan amalan sunat secara jumlah (garis besar), tetapi orang yang meninggalkannya sesungguhnya telah menghilangkan keberuntungan dan pahala yang besar bagi dirinya, sedangkan Allah meninggikan derajat seseorang sesuai amalnya, dan orang yang rutin meninggalkan perkara sunat, maka hal itu merupakan kekurangan pada agamanya dan cacat pada keadilannya, dan jika meninggalkannya karena meremehkan serta tidak suka kepadanya, maka yang demikian merupakan kefasikan sehingga berhak dicela.

Hadits di atas seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:

أَتَى أَعْرَابِيٌّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ. قَالَ: تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ، وتُؤدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ، وَتَصُومُ رَمَضَانَ. قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا أَزِيدُ عَلَى هَذا شَيْئًا وَلَا أنْقُصُ مِنْهُ. فَلَمَّا وَلَّى، قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: مَنْ سَرَّه أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا

Seorang Arab badui pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Tunjukkanlah kepadaku amalan yang jika aku kerjakan, maka aku akan masuk surga.” Beliau bersabda, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang wajib, menunaikan zakat yang wajib, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Ia (orang Arab badui) berkata, “Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, aku tidak menambah sedikit pun dan tidak mengurangi.” Ketika orang itu telah pergi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin melihat salah seorang penghuni surga, maka lihatlah orang ini” (Muttafaq ‘alaih)

Para imam dari kalangan ahli fiqh membedakan antara perkara wajib dengan perkara sunat adalah untuk mengetahui mana yang wajib dan mana yang tidak, dan karena khawatir akan disiksa jika meninggalkannya, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan yang sunat maksudnya adalah untuk mengingatkan sunatnya dan keadaannya yang lebih utama jika dikerjakan untuk memberikan kemudahan dan meringankan, atau untuk mengingatkan bahwa perkara sunat itu tidak wajib. Hikmah disyariatkan perkara sunat adalah untuk menyempurnakan yang wajib. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ: يَقُوْلُ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: اُنْظُرُوا فِي صَلاَةِ عَبْدِيْ أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانْ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئاً قَالَ: انْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِيْ مِنْ تَطَوُّعٍ، فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ: أَتِمُّوْا لِعَبْدِيْ فَرِيْضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ اْلأَعْمَالُ عَلَى ذَلِكُمْ

Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Allah Azza wa Jalla akan berfirman kepada para malaikat-Nya sedangkan Dia lebih mengetahui, “Lihatlah shalat hamba-Ku, apakah dia menyempurnakannya atau menguranginya?” Jika ternyata sempurna, maka dicatat sempurna. Namun jika kurang, Allah berfirman, “Lihatlah! Apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunat?” Jika ternyata ada, Allah berfirman, “Sempurnakanlah shalat fardhu hamba-Ku dengan shalat sunatnya,” lalu diambil amalannya seperti itu” (HR. Empat orang ahli hadits dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2020)

Faidah Hadits

Hadits di atas juga menunjukkan beberapa hal berikut:

  1. Bahwa orang yang mengerjakan kewajiban dan menjauhi larangan akan masuk ke dalam surga.
  2. Boleh meninggalkan amalan sunat secara garis besar, jika maksudnya bukan meremehkan.
  3. Tujuan hidup ini adalah agar kita masuk ke dalam surga.
  4. Pentingnya shalat yang lima waktu, dan bahwa shalat merupakan sebab seseorang masuk ke surga, demikian juga menunjukkan pentingnya puasa.
  5. Tidak disebutkan di dalam hadits tersebut zakat dan haji, karena zakat dan haji sudah masuk ke dalam keumuman kalimat “mengharamkan yang haram”.
  6. Bisa juga tidak disebutkan kata-kata zakat, karena orang tersebut fakir, tidak mampu berzakat, sehingga Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai dengan keadaannya. Sedangkan tidak disebutkan hajji, bisa saja karena waktu itu belum diwajibkan (sebagaimana dijelaskan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam syarah Al Arba’in beliau).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Maraji’:

  • Makbatah Syamilah versi 3.45
  • Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah)
  • Syarh Al Arba’in (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin)

***
Penulis: Marwan Hadidi, S.Pd.I
Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Pengertian Sum Ah, Hadits Shahih Tentang Menuntut Ilmu, Hukum Pujian Setelah Adzan, Jelaskan Bagaimana Kedudukan Beriman Kepada Hari Akhir


Artikel asli: https://muslim.or.id/21763-tunaikan-amalan-wajib-berhak-atas-surga.html